Masalah dan Solusi Pemerataan Akses Pendidikan Dasar di Indonesia
BAB I
LATAR BELAKANG DAN DASAR HUKUM
A.
LATAR BELAKANG
Situasi
anak-anak dan perempuan di Indonesia telah meningkat secara substansial selama
beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, tren nasional menutupi perbedaan yang
signifikan di seluruh wilayah geografis dan berbagai kelompok sosial. Tantangan
berupa ukuran negara yang besar diperburuk oleh konsdisi geografis. Populasi
penduduk Indonesia tersebar di lebih dari 17.000 puilau yang mencakup jarak
lebih dari 5.000 km dari barat ke timur. Oleh karena itu, mengatasi kesenjangan
adalah inti dalam mewujudkan hak-hak anak di Indonesia. Sepertiga penduduk
Indonesia adalah anak-anak, ini setara dengan sekitar 85 juta anak-anak, dan
merupakan yang terbesar keempat di dunia (UNICEF, 2019).
B.
DASAR HUKUM
Pasal 31 UUD 1945 dan
Amandemen
Ayat 1: Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan
Ayat 2: Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Ayat 3: Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.
Ayat 4: Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Ayat 5: Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
BAB II
TUJUAN
Tujuan pendidikan dasar
mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, dijelaskan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan dasar
bertujuan meletakkan dasar-dasar yang dibutuhkan peserta didik untuk dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
BAB III
HASIL YANG DICAPAI
Untuk menganalisis
hasil yang dicapai dalam pendidikan dasar dapat dilihat dari tiga hal, yaitu
pemerataan pendidikan, mutu pendidikan, dan relevansi pendidikan. Namun, dalam makalah ini penulis membatasi pembahasan pada pemerataan pendidikan dan mutu
pendidikan karena sulit untuk mengukur relevansi pendidikan dan perlu
penelaahan yang sangat mendalam.
Pemerataan pendidikan
dapat dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni
(APM). Data dari Kemdikbud, menunjukkan bahwa APK dan APM di Indonesia cukup
stabil untuk beberapa tahun terakhir, namun APM SMP sederajat yang termasuk
wajib belajar masih menjadi PR bagi pemerintah karena baru mencapai 77,21%.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 1 dan 2 berikut.
Gambar 1. Perkembangan APK di
Indonesia (Kemdikbud, 2019)
Gambar 2. Perkembangan APM di
Indonesia (Kemdikbud, 2019)
Mutu pendidikan dapat
diukur dengan berbagai cara. Namun, jika kita menggunakan UN sebagai ukuran
tentunya hal ini bersifat sangat subjektif. Melihat mutu pendidikan dari
berbagai penilaian internasional adalah yang paling objektif karena kita juga
dapat membandingkan dengan negara lain, terutama dengan negara-negara tetangga.
Sayangnya, berbagai penilaian internasional tersebut menunjukkan performa siswa
Indonesia yang sangat rendah. Pada Programme
for International Student Assessment (PISA) 2018, Indonesia berada pada
peringkat 72 dari 77 negara. Rata-rata skor membaca, matematika, dan IPA OECD
berturut-turut adalah 487, 489, dan 489. Sedangkan rata-rata skor Indonesia
untuk ketiganya berturut-turut 371, 379,
dan 396. Hasil PISA juga menunjukkan 70% siswa di Indonesia merupakan low achievers dalam membaca dan 72% low achievers dalam matematika.
Gambar 3. Tren kinerja dalam
Membaca, Matematika dan Sains Siswa di Indonesia (OECD, 2019)
Hasil survei dari Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) 2015, untuk matematika pada kelas IV Indonesia berada
di peringkat 44 dari 49 negara dengan skor 397 (TIMSS & PIRLS International
Study Center, 2015). Hasil ini juga jauh di bawah rata-rata skor internasional
sebesar 505. Hasil TIMSS untuk sains juga hampir sama, Indonesia berada di
peringkat 44 dari 47 negara. Skor sains Indonesia adalah 397 jauh di bawah
rata-rata skor sains TIMSS sebesar 506 (TIMSS & PIRLS International Study
Center, 2016).
Selain dari berbagai
penilaian internasional terhadap performa siswa, banyak lembaga independen yang
melakukan analisis terhadap pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah Lowy
Institute, sebuah wadah pemikir independen yang didirikan pada bulan April 2003
oleh Frank Lowy untuk melakukan penelitian asli, yang relevan dengan kebijakan
tentang isu-isu politik, strategis dan ekonomi internasional dari perspektif
Australia. Lowy Institute melakukan kajian terhadap pendidikan di Indonesia dan
hasilnya sebagai berikut.
1. Sistem pendidikan Indonesia telah
menjadi perusahaan bervolume tinggi dan berkualitas rendah yang tidak memenuhi
ambisi negara tersebut untuk sistem "kompetitif internasional".
2. Hasil ini mencerminkan pendanaan
yang tidak mencukupi, defisit sumber daya manusia, struktur insentif yang
buruk, dan manajemen yang buruk, tetapi pada dasarnya adalah masalah politik
dan kekuasaan.
3. Penyebab politis dari kinerja
pendidikan yang buruk termasuk dominasi yang terus-menerus dari elit politik,
birokrasi, dan perusahaan atas sistem pendidikan di bawah Orde Baru dan peran
yang dimiliki oleh LSM dan orang tua, guru, dan kelompok siswa dalam pembuatan
kebijakan pendidikan sejak jatuhnya Orde Baru, membuat reformasi sulit.
Dalam menjelaskan
rendahnya kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran di Indonesia, sebagian
besar analisis, khususnya organisasi pembangunan internasional seperti Bank
Dunia, OECD, dan ADB menunjukkan efek dari empat faktor utama (Rosser, 2018)
sebagai berikut.
1.
Tingkat pengeluaran pemerintah
untuk pendidikan
Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan telah meningkat pesat sejak
jatuhnya Orde Baru dan, khususnya, sejak tahun 2002 ketika konstitusi nasional
diubah untuk mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk membelanjakan
setidaknya 20 persen dari anggaran mereka masing-masing untuk pendidikan.
Namun, sementara belanja pendidikan sekarang berada pada tingkat yang sama
dengan negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah lainnya, itu masih kurang
dari negara-negara tetangga yang sebanding.
2.
Kualitas guru dan dosen Indonesia
Sebelum tahun 2005, sebagian besar guru Indonesia memiliki kualifikasi
tingkat rendah dengan kurang dari 40 persen memegang gelar sarjana empat tahun.
Pada saat yang sama, banyak guru tidak memiliki pengetahuan mata pelajaran
dasar dan keterampilan pedagogis untuk menjadi pendidik yang efektif. Pada
2012, pemerintah pusat memperkenalkan tes kompetensi bagi guru untuk menilai
pengetahuan mata pelajaran dan keterampilan pedagogis guru. Hampir tiga juta
guru yang mengikuti tes pada tahun 2015 mencetak rata-rata 53,02, di bawah
target yang ditentukan yaitu 55. Diundangkannya Undang-Undang No. 14/2005
tentang Guru dan Dosen menyebabkan pengenalan program sertifikasi guru yang
mengaitkan gaji yang besar meningkat dengan peningkatan kualifikasi dan
keterampilan. Namun, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa program ini
memiliki sedikit, jika ada, dampak positif pada pengetahuan subjek guru atau
keterampilan pedagogis atau, memang, pembelajaran siswa.
3.
Sistem penghargaan/insentif yang menghambat
guru dan dosen Indonesia untuk memberikan pengajaran berkualitas tinggi dan,
dalam hal akademisi universitas, penelitian berkualitas tinggi.
Pengangkatan guru dan akademik cenderung dilakukan atas dasar kesetiaan,
persahabatan, dan hubungan keluarga daripada prestasi; promosi cenderung
terjadi secara otomatis setelah staf memenuhi persyaratan administrasi tertentu
dan bukan berdasarkan rekam jejak dalam memberikan penelitian dan pengajaran
berkualitas tinggi; dan pemutusan hubungan kerja jarang terjadi bahkan ketika
kinerja staf buruk. Pada saat yang sama, gaji rendah di lembaga pendidikan
negeri dan swasta telah mendorong guru dan akademisi untuk melakukan pekerjaan
ekstra, kadang-kadang bersifat non-akademik. Hasilnya adalah ketidakhadiran
yang meluas di sekolah dan sistem pendidikan tinggi. Analisis terbaru
menunjukkan ada penurunan yang signifikan dalam tingkat ketidakhadiran di
antara guru sekolah selama dekade dari 2003 hingga 2013, tetapi pada hari
tertentu 10 persen guru masih absen ketika mereka dijadwalkan untuk bekerja.
4.
Manajemen pemerintah yang buruk
terhadap institusi pendidikan publik, khususnya kontrol pemerintah yang berlebihan
atas kegiatan mereka.
Kurangnya otonomi berarti bahwa sekolah-sekolah umum dan Perguruan
Tinggi telah tunduk pada “terlalu banyak pembatasan dan peraturan yang
mengikat, untuk berkembang pada kecepatan yang wajar dan sesuai dengan
perubahan kebutuhan dan keadaan setempat”.
BAB IV
MASALAH YANG DIHADAPI
Wilayah geografis
Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan menyebabkan akses pendidikan
yang tidak merata. Di daerah perkotaan fasilitas dan sarana prasarana sudah
cukup mendukung, namun di daerah pedesaan, apalagi di daerah yang terpencil,
masih banyak anak yang kesulitan untuk mengakses pendidikan. Pulau Jawa yang
terkenal sebagai pulau yang pendidikannya dianggap paling maju di Indonesia
saja kondisinya masih belum merata. Banyak anak yang harus bertaruh nyawa untuk
pergi ke sekolah. Hal ini sempat menjadi sorotan surat kabar Britania Raya,
Daily Mail. Adegan anak yang harus melewati jembatan gantung yang rusak di
Lebak, Banten menurut mereka mirip dengan adegan di film Indiana Jones And The Temple Of Doom (Kisiel, 2012). Ini hanya
salah satu adegan di tahun 2012. Bahkan sampai tahun 2019 jika dilihat di
berbagai berita di internet, adegan berbahaya tersebut masih sering terjadi di
berbagai daerah di Jawa.
Di Pulau Papua keadaan
sangat memprihatinkan. Anak-anak pedalaman Papua pergi ke sekolah setiap hari
berjalan kaki dengan alas kaki seadanya dan ada juga yang berjalan tanpa alas
kaki, melewati bukit dan terkadang mereka tidak bersekolah karena di beberapa
tempat di Papua situasi keamanannya tidak kondusif dan rawan konflik. Guru-guru
pendatang yang bertugas mengajar di sana pun sangat merasa khawatir dengan
kondisi seperti itu, terkadang terbesit ingin pergi dari tempat mereka
mengabdi. Hal ini tentu jarang terjadi di sekolah-sekolah di Pulau Jawa,
anak-anak bisa belajar dan menuntut ilmu tanpa ada tekanan konflik daerah dan
ancaman terhadap kehidupannya. Akibat dari berbagai kendala yang ada, di
wilayah Papua terutama dibagian pedalaman masih banyak ditemui anak-anak yang
sudah beranjak remaja maupun dewasa yang masih belum mengenal huruf maupun
angka secara baik (Malawat, 2019).
Berjalan kaki puluhan
kilometer bukanlah hal yang luar biasa bagi guru dan siswa di Papua. Banyak
sekolah yang hanya memiliki satu guru untuk mengajar dari kelas 1 hingga kelas
6. Guru tersebut sekaligus merangkap sebagai kepala sekolah. Bahkan terkadang
para guru hanya sanggup bertahan beberapa bulan di suatu sekolah karena
banyaknya kendala yang mereka hadapi. Akibat sulitnya akses pendidikan di
Papua, ada orang tua yang berpendapat bahwa percuma menyekolahkan anak, toh di
sekolah tidak ada guru yang mendidik. Jangankan di Papua, di Pulau Jawa saja
masih banyak sekali sekolah yang kekurangan guru. Meskipun di atas kertas
Indonesia kelebihan guru untuk Sekolah Dasar (tanpa membedakan status PNS
dengan GTT), namun persebaran guru tersebut tidak merata. Masih banyak daerah
yang kekurangan guru, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (Permanasari,
dkk; 2017).
Bambang Purwoko, Ketua
Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada membeberkan kisah memilukan
pendidikan di Papua (Kusumadewi & Sohuturon, CNN Indonesia, 10 Agustus
2016). Menurutnya anak-anak SMA belum bisa membaca dan menulis adalah hal wajar
di Papua. Lulus SMA, punya ijazah, tapi tidak bisa membaca dan menulis
merupakan realita. Sudah umur 18 tahun tetapi belum sekolah atau sudah 16 tahun
tetapi belum sekolah, lantas dimasukkan ke SD, mendaftar langsung kelas enam.
Tetapi dia tidak pernah pergi ke sekolah, dan tahu-tahu datang menjelang ujian,
meminta ikut ujian dan harus lulus. Masyarakat memaksa sehingga guru-guru tak
berdaya dan akhirnya dia diluluskan. Setelah mendapat ijazah SD, dipakai
mendaftar ke SMP, masuk langsung kelas tiga karena umur sudah tua. Setelah itu masih
sama, tidak pernah masuk, tiba-tiba datang ikut ujian dan minta lulus. Begitu
pula di SMA. Setelah lulus SMA, dia memaksa masuk ke perguruan tinggi di
Jayapura dengan sistem kuota. Akan tetapi lagi-lagi tidak pernah belajar.
Mereka yang seperti ini kerap memalang pintu Uncen (Universitas Cenderawasih).
Pada tahun 2014 atau 2015, dalam setahun gerbang Uncen dipalang 40 kali oleh
mahasiswa. Mereka tidak mau belajar, tapi harus lulus. Seorang mahasiswa
mendatangi dosennya suatu malam dan mengancam kalau dosen tersebut masih ingin
hidup maka mahasiswa tersebut harus diberi nilai B sama seperti teman satu
kampungnya.
Sarana dan prasarana
pendidikan di Indonesia juga tidak merata. Ada sekolah yang gedungnya megah dan
bertingkat serta sarprasnya sangat lengkap. Ada pula yang sekolahnya hanya
terbuat dari tipleks dan beberapa kelas harus dijadikan satu di ruangan
tersebut. Ada sekolah yang memiliki perpustakaan dilengkapi dengan internet
super cepat. Ada pula sekolah yang meskipun kurikum sudah berubah namun buku
yang dipakai tetap sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Dengan demikian, masih
banyak anak di Indonesia yang belum mendapatkan haknya untuk memperoleh
pendidikan yang layak.
BAB V
SOLUSI PEMECAHAN
1.
Wajib Belajar 9 Tahun
Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, merupakan program pemerintah untuk menjawab
kebutuhan dan tantangan zaman. Berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional
No. 2 Tahun 1989, pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyat
dengan mewajibkan semua warga negara Indonesia yang berusia 7-12 tahun dan
12-15 tahun untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program 6 tahun di SD
sederajat dan 3 tahun di SMP sederajat secara merata.
Meskipun
telah 31 tahun program ini berjalan ternyata masih mengalami banyak kendala,
terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Karena itu, perlu
komitmen tinggi dari segenap pihak dan perlu program-program lainnya untuk
mendukung tercapainya wajib belajar 9 tahun untuk seluruh anak di Indonesia.
2.
Sekolah Berasrama
Menurut
Bambang Purwoko, akademisi UGM yang puluhan tahun meneliti isu pendidikan
Papua, Papua Barat dan Papua memiliki sumber anggaran besar, salah satunya dari
dana otonomi khusus (otsus). Solusi untuk medan atau wilayah Papua yang sangat
sulit aksesnya adalah "Sekolah Asrama”. Menurutnya, Pemkab Raja Ampat
perlu membuka sekolah asrama dari jenjang SMP. Ia yakin, dana otsus cukup untuk
membiayai sekolah ini (Utama & Pradana, 2019).
Dari
pendapat tersebut, maka sekolah asrama dapat menjadi solusi untuk
wilayah-wilayah yang secara geografis sulit untuk diakses, baik oleh guru
maupun siswa. Sekolah asrama dapat dimulai dari jenjang SMP. Hal ini akan
sangat menghemat waktu, tenaga, dan biaya bagi siswa dan guru. Siswa dapat
lebih fokus untuk belajar. Namun, biaya yang besar seringkali menjadi kendala.
Selain itu komitmen yang kuat sangat diperlukan, baik dari pihak pemerintah,
guru, siswa, orang tua murid, maupun masyarakat agar program ini dapat berjalan
dengan baik.
3.
Program SM3T dan GGD
Program
SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) adalah program
pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan
pendidikan di daerah 3T selama satu tahun. Program tersebut dilakukan sebagai
penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan program Pendidikan
Profesi Guru. Sementara itu Program GGD (Guru Garis Depan) dilakukan sebagai
upaya untuk memeratakan akses pendidikan dengan meningkatkan ketersediaan
tenaga pendidik di daerah 3T. Program GGD angkatan pertama telah mengirimkan
798 guru profesional ke 28 kabupaten di daerah 3T yang tersebar di empat
provinsi. Keempat provinsi tujuan program GGD tersebut yaitu Provinsi Aceh,
Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat (Kemdikbud, 2017).
Kedua
program di atas menurut kelompok kami sangat bermanfaat karena selama ini
banyak guru yang tidak mampu bertahan mengajar di daerah 3T. Dengan adanya
program ini paling tidak anak-anak merasakan benar-benar memiliki guru yang
fokus dalam mendidik mereka. Para guru muda ini umumnya juga memiliki etos
kerja dan kreativitas yang tinggi sehingga dapat memberikan warna baru bagi
pendidikan di daerah 3T.
4.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Bantuan
Operasional Sekolah atau BOS adalah bantuan pendidikan berbentuk dana yang
diberikan kepada sekolah dan madrasah untuk kepentingan nonpersonalia. Dana BOS
diberikan berdasarkan jumlah siswa yang dimiliki sebuah sekolah. Saat ini, dana
BOS terbagi menjadi dua, yaitu BOS yang berasal dari pemerintah pusat dan dana
BOS yang berasal dari pemerintah daerah.
Adanya
dana BOS berarti tersedianya sekolah gratis bagi warga negara. Namun, tentunya
hal ini berlaku hanya di sekolah-sekolah milik negara. Di sekolah-sekolah
swasta masyarakat masih harus membayar. Namun, khusus untuk sekolah dasar
memang banyak masyarakat golongan menengah ke atas yang memilih sekolah swasta karena dirasa mutunya
lebih baik daripada sekolah negeri.
Tersedianya
pendidikan gratis sangat membantu bagi masyarakat yang berasal dari golongan
ekonomi menengah ke bawah. Dengan pendidikan gratis diharapkan APM dapat terus
meningkat. Namun, hal ini belum dapat mengatasi masalah akses pendidikan di
daerah yang wilayah geografisnya sulit terjangkau.
5.
Perbaikan Sarpras
Perbaikan
sarana dan prasarana sangat penting terutama di wilayah 3T. Anggaran untuk
sarpras di daerah 3T jangan hanya dari dana BOS. Karena di wilayah yang sulit
terjangkau, biaya transportasi untuk membeli sarpras terkadang melebihi
anggaran untuk membeli sarpras itu sendiri. Pemerintah Daerah dan Dinas
Pendidikan setempat harus sigap dalam menganalisis kebutuhan sekolah.
Pemerintah pusat juga harus memprioritaskan daerah 3T agar kesenjangan
pendidikan dengan wilayah perkotaan dapat dikurangi.
6.
Pendidikan Kesetaraan
Pendidikan
Kesetaraan merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A, B, C
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional peserta didik. Legalitas kejar
paket A, B, dan C sudah dijamin oleh pemerintah dalam UU No. 20/2003 tentang
sistem pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan kesetaraan adalah
program pendidikan non formal yang menyelenggarakan pendidikan umum yang setara
dengan SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B,
dan paket C.
Pendidikan
Kesetaraan untuk Paket A dan B diarahkan untuk mempercepat penuntasan Wajar
Dikdas 9 Tahun. Hal ini sangat bermanfaat terutama bagi penduduk usia sekolah
yang terkendala masuk jalur formal karena ekonomi terbatas, waktu terbatas,
terkendala secara geografis (etnik minoritas, suku terasing), atau penduduk
yang bermasalah (sosial, hukum).
7.
Program Indonesia Pintar (PIP)
Program
Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) adalah pemberian
bantuan tunai pendidikan kepada anak usia sekolah (usia 6 - 21 tahun) yang
berasal dari keluarga miskin, rentan miskin: pemilik Kartu Keluarga Sejahtera
(KKS), peserta Program Keluarga Harapan (PKH), yatim piatu, penyandang
disabilitas, korban bencana alam/musibah. PIP merupakan bagian dari
penyempurnaan program Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Melalui
program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus
sekolah, dan diharapkan dapat menarik siswa putus sekolah agar kembali
melanjutkan pendidikannya. PIP juga diharapkan dapat meringankan biaya personal
pendidikan peserta didik, baik biaya langsung maupun tidak langsung.
BAB VI
REKOMENDASI
Kondisi geografis
Indonesia menyebabkan sulitnya mewujudkan pemerataan akses pendidikan. Namun,
demi memberikan hak pendidikan untuk semua anak masalah ini harus segera
diselesaikan. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
masalah pemerataan pendidikan antara lain Wajib Belajar 9 Tahun, Program SM3T
dan GGD, Bantuan Operasional Sekolah, Pendidikan Kesetaraan, dan Program
Indonesia Pintar. Penulis merekomendasikan Sekolah Asrama untuk wilayah yang
secara geografis sulit untuk diakses dan perbaikan sarpras terutama di daerah
3T. Dengan demikian kehadiran negara dapat dirasakan oleh semua anak di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Kemdikbud. (2017). Kemendikbud Siapkan Lima Program Afirmasi
untuk Pemenuhan Guru di Daerah. kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-siapkan-lima-pro
gram-afirmasi-untuk-pemenuhan-guru-di-daerah diakses tanggal 23 Maret 2020.
Kemdikbud. (2019). Data APK-APM di Indonesia. http://apkapm.data.kemdikbud.go.id/index.php/cberanda/dashboard?kode_wilayah=000000&&tahun=2019 diakses tanggal 23 Maret 2020.
Kisiel,
R. (2012). Think the school run is bad?
Children face Indiana Jones-style river crossing EVERY day after floods cut off
their community. https://www.dailymail.co.uk/news/article-2088998/Think-school-run-bad
-Children-face-Indiana-Jones-style-river-crossing-EVERY-day-floods-cu t-community.html diakses
tanggal 22 Maret 2020.
Kusumadewi,
A. & Sohuturon, M. (2016). Jangan
Lihat Papua dengan Logika Jawa. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160809085425-75-150081/jangan-lihat-papua-dengan-logika-jawa
diakses tanggal 22 Maret 2020.
Malawat,
S. (2019). Perbedaan Pendidikan di Papua
dan Pulau Jawa. https://malukunews.co/berita/kiriman-pengunjung/pcjxjlc0qstbid/perbeda
an-pendidikan-di-papua-dan-pulau-jawa diakses tanggal 22 Maret 2020.
Mullis, I. V. S., Martin,
M. O., Foy, P., & Hooper, M. (2015). TIMSS
2015 International Results in Mathematics. Diunduh dari http://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-results/wp-content/up
loads/filebase/full%20pdfs/T15-International-Results-in-Mathematics.pdf
OECD. (2018). Snapshot od Student Performance. Diakses
dari https://www.oecd.org/pisa/PISA-results_ENGLISH.png
pada 23 Maret 2020.
OECD. (2019). Country Note PISA 2018 Results. https://www.oecd.org/pisa/publications/PISA2018_CN_IDN.pdf diakses tanggal 23 Maret 2020.
Permanasari, dkk.
(2017). Pengabdian Guru, Garda Depan
Pendidikan. https://interaktif.kompas.id/baca/pendidikan/ diakses tanggal 23 Maret 2020.
Rosser, A. (2018). Beyond
Acces: Making Indonesia’s Education
System Work. https://www.lowyinstitute.org/publications/beyond-access-making-indo nesia-s-education-system-work diakses
tanggal 23 Maret 2020.
TIMSS & PIRLS
International Study Center. (2016). Student
Achievement Overview. timss2015.org/timss-2015/science/student-achievement/
diakses pada 23 Maret 2020.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UNICEF.
(2019). Children in Indonesia. https://www.unicef.org/ indonesia/children-indonesia diakses
tanggal 22 Maret 2020.
Utama, A. &
Pradana, A. (2019). Kisah anak-anak Raja
Ampat, Papua arungi laut demi pendidikan dan melawan kemiskinan. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48102657 diakses tanggal 22
Maret 2020 diakses pada 22 Maret 2020.
Komentar
Posting Komentar