Bagaimana rasanya kurang kasih sayang orang tua di waktu kecil?


Banyak sekali artikel yang membahas tentang dampak psikologis kurangnya kasih sayang orang tua terhadap anak. Namun, kali ini saya ingin membahas dari pengalaman saya sebagai seorang anak yang jarang bertemu dengan orang tua ketika kecil. Saya bangga terhadap orang tua saya dan bisa memahami alasan mereka yang harus pergi merantau demi masa depan anaknya ini. Tanpa perjuangan mereka, saya bukanlah apa-apa. Artikel ini bukan bermaksud untuk menghakimi siapa pun, karena saya tahu setiap orang memiliki alasan yang kuat dalam setiap tindakan mereka. Bukan pula bermaksud untuk mengeluh karena saya selalu bersyukur atas hidup saya yang sekarang. Namun, saya hanya ingin berbagi pengalaman tentang apa yang saya rasakan dulu sebagai seorang anak yang haus akan kasih sayang orang tua. Dengan harapan, orang tua yang akan meninggalkan anak-anaknya dapat memahami dampak psikologis yang mungkin akan dirasakan anak, orang tua yang tengah merantau dapat lebih banyak menjalin komunikasi dengan anak-anaknya, dan orang tua yang sibuk dengan pekerjaan tidak lupa untuk memeluk anak-anaknya. Saya juga berharap orang-orang yang ada di sekitar anak dapat memberikan dukungan dan kasih sayang, bukan justru menjauhi anak.

“Berapa sering Anda memeluk anak Anda?” Pertanyaan sederhana ini dilontarkan Sandi Schwartz (https://www.gottman.com/blog/how-a-parents-affection-shapes-a-childs-happiness-for-life/) untuk mengawali artikelnya yang berjudul How a Parent’s Affection Shapes a Child’s Happiness for Life. Lalu saya menanyakan pada diri sendiri, “Berapa sering saya dipeluk orang tua saya ketika kecil?” Jawabannya adalah saya tidak ingat pernah dipeluk mereka ketika kecil. Orang tua saya pergi merantau ketika umur saya baru satu tahun dan pulang tiga atau empat bulan sekali. Itu pun hanya sekitar dua atau tiga hari di rumah sehingga waktu kebersamaan yang kami miliki sangat terbatas. Bahkan terkadang saya merasa mereka adalah orang asing. Mungkin saya pernah dipeluk, namun, ingatan saya belum kuat saat itu sehingga memori tentang kehangatan atau kelekatan dengan orang tua ketika kecil hampir tidak saya miliki.

Menurut Schwartz, anak yang mendapatkan kasih sayang memiliki harga diri yang lebih tinggi, kinerja akademis yang lebih baik, komunikasi orang tua-anak yang lebih baik, dan lebih sedikit masalah psikologis dan perilaku. Di sisi lain, anak yang tidak memiliki orang tua yang penyayang cenderung memiliki harga diri yang lebih rendah dan merasa lebih terasing, bermusuhan, agresif, dan anti sosial. Apakah dampak itu juga saya alami? Ya, bahkan saya merasa ketepatannya 99%. Dari sinilah saya akan mulai menjelaskan, berdasarkan apa yang saya alami, mengapa hal-hal tersebut bisa terjadi.

Pertama, karena tidak pernah dipeluk, saya merasa bahwa saya tidak terlalu berharga dan orang tua tidak menyayangi saya. Hal ini menyebabkan harga diri yang rendah. Namun, saya masih beruntung karena tinggal bersama kakek dan nenek yang menyayangi saya sehingga hal ini tidak berdampak terlalu besar. Kedua, terkait kinerja akademis, saya memang bukan anak yang tertinggal secara akademis, namun saya sering mendapatkan teguran di sekolah. Teguran ini sering saya terima karena tidak pernah mengerjakan PR, tidak memakai pakaian olahraga ketika jadwal olahraga, tidak memakai ikat pinggang atau kaus kaki, dan masih banyak hal lainnya. Kinerja akademik saya juga tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan saya (underachievement).

Dalam hal pergaulan, saya adalah anak yang sangat tidak percaya diri (hal ini masih saya alami sampai sekarang). Dulu saya selalu mengikuti teman kemana pun mereka pergi. Saya juga tidak pernah punya inisiatif. Saya sering bergaul dengan anak yang umurnya beberapa tahun di bawah saya, karena saya merasa bisa mengendalikan mereka, namun saya tidak berani berinisiatif ketika dengan teman sebaya. Teman yang saya miliki hanya beberapa orang karena sangat sulit bagi saya membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Apalagi di tengah pembicaraan banyak orang, saya hanya akan menjadi pendengar dan merasa kesepian di tengah keramaian. Saya juga suka mengisolasi diri dan tidak terlalu suka bertemu banyak orang. Bahkan sampai sekarang pun saya lebih suka sendiri, mungkin bisa dikatakan saya menjadi orang yang introvert.

Keterampilan hidup yang saya miliki sangat tertinggal dengan anak-anak yang lain karena saya tidak pernah diajari oleh orang tua. Nenek saya waktu itu juga jarang di rumah karena pergi untuk berjualan dan pulang dua atau tiga hari sekali. Perasaan tidak berharga, terasing, dan tidak percaya diri saya rasakan untuk waktu yang cukup lama. Ketika dewasa, saya mendengar banyak orang bercerita bahwa masa kecil mereka sangat bahagia, tetapi saya tidak bisa merasakan hal itu. Saya hanya ingat, waktu kecil saya tidak menginginkan apa pun, saya tidak ingin rumah yang bagus, pakaian yang bagus, atau makanan yang enak, saya hanya ingin seperti anak-anak lain yang bisa selalu bersama orang tua mereka. Hal yang paling saya ingat adalah ketika ada anak lain yang dibonceng naik sepeda motor oleh orang tua mereka, saya merasa sangat iri, saya ingin bisa seperti mereka.

Ketika saya sudah menikah dan memiliki anak, ibu saya berkata bahwa waktu kecil saya sangat tangguh, saya tidak pernah menangis ketika orang tua saya berangkat untuk merantau lagi. Lalu saya menjawab bahwa saya tidak ingin menangis di depan ibu dan ayah karena saya malu. Namun, setelah ibu hilang dari pandangan, saya akan pergi ke belakang rumah dan menangis di sana sendirian. Mendengar hal itu, ibu saya menangis. Ibu bercerita kalau selama di Jakarta Ibu juga sering menangis karena teringat saya. Kami pun mulai memahami perasaan satu sama lain.

Mungkin tulisan ini tidak akan lengkap jika saya tidak menjawab pertanyaan “Lalu bagaimana psikologi anak yang kurang kasih sayang tersebut ketika dewasa?” Saya rasa jawabannya tergantung pada masing-masing anak. Ketika dewasa, hidup kita adalah milik kita. Dengan kata lain kita bisa memilih terus meratapi hal-hal yang tidak bisa kita ubah atau kita bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat (baik bagi diri sendiri maupun orang lain) dan membahagiakan. Saya memilih yang kedua sehingga saya sekarang bahagia. Saya juga lebih percaya diri dan tidak lagi terisolasi (meski menyendiri tetaplah hal yang saya sukai). Belajar dari pengalaman di masa kecil, saya juga berusaha menjadi ibu yang selalu ada di samping anak-anak, sebanyak mungkin memeluk dan menyayangi mereka, semoga selalu begitu sampai kapan pun.

Tidak ada orang tua di dunia ini yang ingin jauh dari anak-anaknya. Tidak ada pula, anak yang ingin jauh dari orang tuanya. Tetapi keadaan dan takdir juga yang menentukan. Setiap tindakan ada konsekuensinya, ada positif dan negatifnya. Namun yang perlu diingat oleh orang tua, masa kecil anak hanya sekali dan itu tidak dapat diulangi. Berapa pun banyaknya harta, tidak dapat menggantikan kasih sayang orang tua. Jadi, jangan sampai meninggalkan lubang besar di hatinya.

Okey, saya rasa cukup di sini dulu postingan saya (yang lebih terdengar seperti curhatan). Semoga ada manfaatnya dan semoga semua orang tua dan anak di dunia ini beruntung dapat selalu bersama, saling menyayangi, dan selalu bahagia. Big love for my my mom and my dad. No matter what happens, I can understand now, and I love you very much.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Evaluasi Tema 1 Kelas 6 SD

MAKALAH HUBUNGAN ANTAR KETERAMPILAN BERBAHASA (MENYIMAK, BERBICARA, MEMBACA, DAN MENULIS)

Contoh Analisis Jurnal Internasional Kepemimpinan

KISI-KISI, SOAL, DAN KUNCI JAWABAN PENILAIAN AKHIR TAHUN (PAT) KELAS 6 KURIKULUM 2013 MUPEL PPKn, IPS, DAN SBdP

RPP KTSP Kelas 5 SD Materi Laporan Pengamatan