ANALISIS PERBEDAAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN ANTARA JEPANG, JERMAN, DAN AMERIKA SERIKAT
TASK
KULIAH KE-12
PEDAGOGIK LANJUT
S3 ILMU PENDIDIKAN UNS
Tugas Anda adalah:
- Analisis video pembelajaran Lesson study di Jepang, reformasi pendidikan di Jepang, German, dan baca buku Teaching Gap untuk mengetahui perbedaan prinsip pedagogik di Jepang, German, dan USA!
- Gunakan konsep aliran pendidikan dan teori belajar yang telah Anda pelajari dan jadikan sebagai framework untuk menggambarkan karakteristik pendidikan dan pembelajaran di ketiga negara!
- Lengkapi analisis Anda dengan referensi terkait!
- Submit laporan analisis dalam bentuk file DOC or DOCX pada SPADA!
JAWABAN
Saya telah melihat
video pembelajaran Lesson Study di
Jepang, video tentang reformasi pendidikan di Jepang dan Jerman serta telah
membaca buku Teaching Gap, namun baru
selesai sampai Chapter 4 (halaman 72). Perbedaan mendasar
prinsip-prinsip pedagogik di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat sebenarnya
telah dijelaskan secara detail di buku Teaching
Gap. Dari apa yang saya baca dapat ditarik suatu simpulan bahwa model
pendidikan di Jepang dianggap yang paling baik di antara ketiga negara tersebut
dan model pendidikan di Jerman lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Di Jerman, dalam banyak
pelajaran, guru membimbing siswa melalui pengembangan prosedur untuk
menyelesaikan masalah secara umum. Ada kekhawatiran tentang teknik. Teknik
mencakup alasan yang mendasari prosedur dan ketepatan prosedur yang dijalankan
untuk memecahkan masalah. Moto yang bagus untuk pengajaran di Jerman adalah
"mengembangkan prosedur lanjutan" [1].
Di Jepang, guru
mengambil peran yang kurang aktif, memungkinkan siswa mereka untuk menemukan
prosedur sendiri untuk menyelesaikan masalah. Dan masalah yang diberikan kepada
siswa cukup menantang, baik secara prosedural maupun konseptual. Guru dengan
hati-hati merancang dan mengatur pelajaran sehingga siswa cenderung menggunakan
prosedur yang telah dikembangkan di kelas. Moto yang sesuai untuk pengajaran di
Jepang adalah "pemecahan masalah terstruktur" [2].
Di Amerika Serikat, level
konten kurang maju dan membutuhkan penalaran matematis jauh lebih sedikit
daripada di dua negara lainnya. Guru menyajikan definisi istilah dan
mendemonstrasikan prosedur untuk menyelesaikan masalah tertentu. Siswa kemudian
diminta untuk menghafal definisi dan mempraktikkan prosedur. Di Amerika
Serikat, motonya yaitu "mempelajari istilah dan mempraktikkan prosedur" [3].
Performa pendidikan di
Jepang diitinjau dari beberapa aspek selalu unggul dibanding dua negara
lainnya. Pada aspek persentase rata-rata topik misalnya, 83% telah berada pada
kategori “dikembangkan” (developed). Di
Jerman 76,9% topik juga telah berada pada kategori developed, sementara di Amerika Serikat hanya 21,9% topik yang
berada pada kategori developed dan sisanya
masih pada kategori “dinyatakan” (stated) [4].
Ditinjau dari
persentase kualitas konten matematika, Jepang juga unggul. Di Jepang 51% konten
matematika telah berada pada kategori kualitas tinggi, 39% menengah, dan hanya
11% berada pada kategori rendah. Di Jerman 38% tinggi, 28% menengah, dan 34%
rendah. Hal yang cukup mengejutkan, di Amerika Serikat 89% kualitas konten
matematika masih berada pada kategori menengah dan sisanya rendah. Jadi ditinjau
dari aspek kualitas konten pelajaran matematika, Amerika Serikat tertinggal
jauh dari Jepang dan Jerman [5].
Dua hal di atas
hanyalah beberapa contoh. Masih banyak aspek pendidikan yang Jepang unggul di
dalamnya. Misalnya ditinjau dari keaktifan siswa [6]
serta persentase kegiatan praktik, penerapan, dan penemuan [7].
Keunggulan Jepang dalam
bidang pendidikan tentunya tidak lepas dari kerja keras para guru Jepang. Jika
melihat video Lesson Study nampak
bahwa para guru Jepang begitu teliti dalam merancang pembelajaran, mereka
sangat perfectionist dan juga
memperhitungkan berbagai hal yang dapat terjadi di kelas. Guru juga memprediksi
bagaimana siswa akan merespon pembelajaran dan kemana arah siswa dalam
memecahkan persoalan. Pembelajaran yang tampaknya sudah begitu matang dan
terstruktur ternyata masih mendapatkan banyak masukan dari rekan sejawat
sehingga guru tersebut dapat terus meningkatkan kompetensinya dan juga kualitas
pembelajaran di kelas.
Selain etos kerja guru
di Jepang yang tinggi, pemerintah juga sangat mengutamakan pendidikan. Sejak
tahun 1980-an mereka manyadari ada yang perlu diubah dari sistem pendidikan
mereka. Dengan cepat mereka menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Praktik
pembelajaran di kelas pun lebih mengutamakan problem solving dan juga contextual
learning. Tidak ada isu miring terkait dengan keadilan bagi siswa di
Jepang. Semua siswa mengenakan seragam yang sama, apa pun latar belakang
keluarga mereka. Siswa juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk
mengembangkan potensi mereka semaksimal mungkin.
Sementara Jerman yang
seringkali merasa unggul di bidang pendidikan, merasakan shock melihat hasil
PISA 2000, yang diterbitkan pada tahun 2001. Hasil PISA menyebutkan bahwa
Jerman tidak memiliki sistem pendidikan yang demokratik. Sebanyak 25% siswa
Jerman dalam kondisi di bawah resiko dan 10% siswanya buta huruf secara
fungsional. Hal ini sangat berkorelasi dengan status sosial ekonomi. Siswa dari
keluarga imigran atau dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan pendidikan
dan pencapaian yang sama dengan siswa dari keluarga yang status sosial ekonominya
tinggi.
Jerman juga memiliki
sistem sekolah tiga pilar. Siswa dengan performansi yang sangat baik biasanya
masuk Gymnasium. Namun jika siswa tersebut berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah, mungkin mereka tidak akan masuk ke Gymnasium, melainkan
ke Realshule yang levelnya menengah. Sekolah yang levelnya paling bawah adalah
Hauptschule dan biasanya ditempati oleh siswa dari latar belakang keluarga
imigran atau keluarga miskin.
Siswa dimasukkan ke
dalam salah satu pilar sejak kelas 4 atau sekitar usia 10 tahun. Hal ini akan
sangat menentukan karir akademik dan juga pekerjaan mereka di kemudian hari.
Jerman menyadari bahwa hal ini absurd
dan tidak berkorespondensi dengan pengembangan potensi manusia seutuhnya. Fokus
Jerman adalah memperbaiki ketidakadilan dan memperbaiki program pelatihan guru.
Di Jerman juga ada lesson study
seperti halnya di Jepang meskipun langkah-langkahnya tidak persis sama. Jerman
dengan cepat mulai memperbaiki sistem pendidikan mereka. Sistem sekolah yang
tadinya tiga pilar, dikurangi menjadi dua pilar dengan harapan memperkecil
ketidakadilan.
Jika melihat
karakteristik pembelajaran di Jepang dan juga Jerman maka saya menyimpulkan
bahwa aliran pendidikan atau teori belajar yang diadopsi oleh para guru adalah
teori belajar konstruktivistik. Namun, para guru di Jepang lebih kuat dan lebih
matang dalam menerapkan teori ini. Mereka menggunakan problem solving yang sudah tersturktur dan terencana dengan baik. Di
Jepang, siswa berperan untuk menentukan metode pemecahan masalah, sementara di
Jerman peran guru masih cukup dominan.
Konstruktivis melihat
pembelajaran sebagai hasil dari konstruksi mental, yaitu pembelajaran terjadi
ketika informasi baru dibangun dan ditambahkan ke dalam struktur pengetahuan,
pemahaman, dan keterampilan individu saat ini. Siswa belajar paling baik ketika
siswa secara aktif membangun pemahaman mereka sendiri [8].
Itulah yang diterapkan oleh para guru di Jepang dan juga di Jerman. Sementara
di Amerika Serikat, menurut saya, masih lebih banyak menerapkan behaviorisme
dibandingkan kognitivisme. Behaviorisme adalah teori belajar yang berfokus pada
perilaku yang dapat diamati dan mengabaikan segala aktivitas mental. Belajar
didefinisikan hanya sebagai perolehan perilaku baru. Ahli perilaku menyebut
metode pembelajaran ini sebagai 'pengkondisian' [9].
Hal ini dilihat dari kecenderungan guru untuk memberikan definisi dan mendemonstrasikan
prosedur, setelah itu siswa hanya diminta mengingat definisi dan mempraktikkan
prosedur.
[1]
James W. Stigler dan James Hiebert, The
Teaching Gap (New York: The Free Press, 1999), hlm. 27.
[2] Ibid., hlm. 27.
[3] Ibid., hlm. 27.
[4] Ibid., hlm. 61.
[5] Ibid., hlm. 65.
[6] Ibid., hlm. 69.
[7] Ibid., hlm. 71.
[8] Alan Pritchard, Ways of Learning: Second Edition (New York: Routledge, 2009), hlm. 17.
[9] Ibid., hlm. 6.
[2] Ibid., hlm. 27.
[3] Ibid., hlm. 27.
[4] Ibid., hlm. 61.
[5] Ibid., hlm. 65.
[6] Ibid., hlm. 69.
[7] Ibid., hlm. 71.
[8] Alan Pritchard, Ways of Learning: Second Edition (New York: Routledge, 2009), hlm. 17.
[9] Ibid., hlm. 6.
Sumber Video:
- Germany - Strong Performers and Successful Reformers in Education, 24 Januari 2012, https://www.youtube.com/watch?v=q4vVwWBqlCM
- Japan - Strong Performers and Successful Reformers in Education, 10 Februari 2012, https://www.youtube.com/watch?v=ygInMvH30QU
- Lesson Study Japan, https://www.youtube.com/watch?v=ygInMvH30QU
Komentar
Posting Komentar