ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN DI CHINA DAN UK
TASK
KULIAH KE-13
MATA KULIAH PEDAGOGIK LANJUT
S3 IP UNS 2019
Tugas Anda adalah:
2. Gunakan
materi aliran pendidikan dan teori belajar sebagai framework dalam menganalisis
3. Berikan
pandangan Anda tentang sistem pendidikan dan pengajaran di indonesia lebih
mendekati sistem di China atau UK
4. Lengkapi
tulisan Anda dengan referensi terkait
JAWABAN
Sistem pendidikan China
dibagi menjadi tiga tahun taman kanak-kanak, enam tahun sekolah dasar, tiga
tahun pendidikan menengah pertama, tiga tahun pendidikan menengah atas, dan
beberapa tahun pendidikan tinggi (umumnya 4 tahun untuk program sarjana, 3
tahun untuk program master, dan 3 tahun untuk program doktoral). Di China,
siswa harus menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Sebagian besar siswa
menghabiskan enam tahun di sekolah dasar, meskipun beberapa sistem sekolah
menggunakan siklus lima tahun untuk sekolah dasar. Pendidikan dasar dimulai
pada usia enam tahun untuk sebagian besar anak-anak dan diikuti oleh tiga
hingga empat tahun pendidikan menengah pertama.[1]
Sedangkan di UK ada
lima tahap pendidikan: tahun-tahun awal, dasar, menengah, Pendidikan Lanjutan atau
Further Education (FE) dan Pendidikan
Tinggi atau Higher Education (HE).
Pendidikan adalah wajib untuk semua anak antara usia 5 tahun (4 tahun di
Irlandia Utara) dan 16 tahun. FE tidak wajib dan mencakup pendidikan tidak
lanjut yang dapat diambil di perguruan tinggi pendidikan lebih lanjut (termasuk
tersier) dan lembaga HE (HEIs). Tahap kelima, HE, belajar di luar level GCE A
dan yang setara, yang bagi sebagian besar siswa penuh waktu, berlangsung di
universitas dan perguruan tinggi lainnya.[2] Usia
atau tahun sekolah cukup bervariasi, antara di England dan Wales, Scotland, dan
Northern Ireland. [3]
Untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh saya juga membaca Education
at a Glance 2019 dari OECD. Ada beberapa hal yang menjadi catatan utama
tentang pendidikan di China yaitu: (1) Pencapaian tersier meningkat dengan
cepat di Cina, meskipun bagian terakhir adalah 18%. Di Cina, 67% dari usia
25-34 tahun diharapkan untuk memasuki pendidikan tinggi untuk pertama kalinya,
yang sedikit lebih tinggi dari rata-rata OECD sebesar 65%. (2) Pada tahun 2017,
2% siswa perguruan tinggi Cina belajar di luar negeri, setara dengan rata-rata
OECD. Namun, mereka merupakan 23% dari total siswa yang masuk di negara-negara
OECD, yang merupakan bagian tertinggi di antara semua negara anggota dan mitra
OECD. (3) Program kejuruan memiliki peran penting di Cina pada tingkat menengah
atas dan tersier: 42% siswa sekolah menengah atas dan 60% dari pendatang baru
pertama kali terdaftar dalam program kejuruan menengah atas dan pendidikan
tinggi siklus pendek masing-masing. (4) Kualitas lingkungan belajar di tingkat
pendidikan dasar perlu ditingkatkan. Pada tingkat pendidikan wajib, rata-rata
ada 37,5 anak per kelas di sekolah dasar dan 48,8 di sekolah menengah pertama,
sementara rata-rata OECD masing-masing adalah 20,7 dan 23,0.[4]
Sedangkan yang menjadi
catatan tentang pendidikan di UK yaitu: (1) Di UK, tingkat pekerjaan rata-rata
di antara orang dewasa yang berpendidikan tersier adalah 5 poin persentase
lebih tinggi daripada di antara mereka yang hanya memiliki kualifikasi
non-tersier menengah dan pasca-sekolah menengah. (2) UK menerima jumlah siswa
internasional terbesar kedua di wilayah OECD setelah USA. Sebagai negara
tujuan, UK menyumbang 10% dari total pangsa pasar pendidikan internasional di
OECD dan negara-negara mitra. (3) Biaya kuliah di UK lebih tinggi daripada di
semua negara dan ekonomi OECD kecuali USA. (4) Pendidikan dan perawatan anak
usia dini hampir universal di UK untuk anak usia 3 dan 4 tahun. (5) Di antara
negara-negara OECD, UK membelanjakan proporsi tertinggi keempat dari produk
domestik bruto (PDB-nya) pada institusi pendidikan primer ke tersier. (6) Pada
tingkat pra-primer, primer dan sekunder, usia rata-rata tenaga pengajar di UK
telah menurun sejak tahun 2005 dan sekarang merupakan salah satu yang termuda
dari semua negara OECD.
Selanjutnya, saya akan
membahas tentang perbedaan sistem pengajaran di UK dengan China. Pertama, yang
akan saya analisis adalah hasil pengamatan video “Are Our Kids Tough Enough Chinese School” bagian pertama sampai
ketiga. Video ini merupakan dokumenteri BBC. Lima orang guru dari China dikirim
untuk mengajar di Hampshire School. Siswa di kelas yang diajar oleh lima orang
guru tersebut berusia 13 dan 14 tahun. Kelas tersebut dianggap sebagai “Chinese School” dan guru menyajikan gaya
mengajar khas China yang unik. Program ini dijalankan selama 4 minggu.
Pada minggu pertama
guru mengajar, guru dari China merasa kaget dengan perbedaan karakteristik
antara siswa di China dengan di UK. Siswa di China merupakan siswa yang sangat
patuh terhadap guru. Hal ini karena adanya ajaran Konfusius yang mengajarkan rasa
hormat dan patuh terhadap orang yang lebih tua. Kelas-kelas di China sangat
tenang dan siswa belajar dengan sangat fokus. Mereka sudah terbiasa dengan jam
pelajaran yang panjang, menyimak, mencatat, dan menghafal. Hampir semua siswa
di China juga merupakan anak semata wayang sehingga mereka adalah satu-satunya
harapan orang tua dan juga kakek nenek mereka. Orang tua di China sangat peduli
terhadap pendidikan anak-anaknya dan bahkan rela melakukan apa saja demi
kesuksesan anak-anak mereka.
China adalah negara
dengan jumlah penduduk terbesar di dunia sehingga rakyat China menyadari bahwa
anak-anak mereka harus berkompetisi untuk memperoleh masa depan yang lebih
baik. Sementara di Inggris kehidupan rakyatnya sangat terjamin. Bahkan
seandainya tidak memiliki anak pun, ketika tua mereka akan diurus oleh negara.
Hal ini menyebabkan perbedaan yang begitu besar antara karakteristik siswa di
China dengan di UK. Siswa di UK terbiasa santai karena mereka berada di
lingkungan yang nyaman dan serba terjamin. Kultur pembelajaran pun tidak
terlalu menuntut mereka untuk bekerja keras dalam pembelajaran. Berbeda dengan
China yang siswanya lebih banyak menerima pengetahuan, kultur pendidikan di UK
mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.
Dokumentari BBC
menampilkan secara detail bagaimana lima guru di China mengajar kelas yang
terdiri dari 50 siswa. Kelas besar seperti ini sudah biasa di China. Sementara
di UK kelasnya tidak terlalu besar dan siswa bebas berkomunikasi dengan guru.
Hubungan antara guru dengan siswa di UK cukup dekat seperti halnya dengan
teman. Sementara hubungan antara siswa dengan guru di China seperti anak dengan
orang tuanya.
Pada minggu pertama
mengajar guru mulai kualahan dengan siswa yang cenderung melakukan
pemberontakan. Siswa di UK tidak terbiasa dengan disiplin yang keras dan jam
pelajaran yang panjang seperti di China. Akibatnya mereka melakukan beberapa
hal sengaja untuk membuat guru marah. Ada yang membawa cangkir berisi teh panas
ke kelas, ada pula yang membawa teko listrik untuk memasak air panas. Guru
melakukan pendisiplinan dengan menegur siswa yang membawa teh ke kelas dan
memanggil orang tua dari siswa yang membawa teko listrik ke kelas. Orang tua siswa
tidak merasa ada yang salah dengan hal itu. Namun, guru menjelaskan tentang
pentingnya kedisiplinan di dalam kelas.
Ketika kembali ke
penginapan para guru dari China mengungkapkan apa yang mereka rasakan, misalnya
Mrs. Yang. Ia berkata “Saya pikir disiplin China adalah yang terbaik di dunia.
Tapi ini memalukan, kami di sini memerlukan bantuan dari guru eksternal. Itu
menyedihkan dan mengerikan”.
Namun, di sisi lain, para
guru di China yang sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang kompetitif sejak
kecil bukanlah tipe guru yang mudah menyerah. “Kita harus bekerja sebagai tim.
Ini bukanmu, bukan tentang aku. Ini tentang China sebagai bangsa. Saya akan
melakukan apa pun agar Chinese School tidak gagal”, lanjut Mrs. Yang.
Pada minggu kedua para
guru di China mulai menggunakan berbagai cara agar Chinese School berhasil. Olahraga atau senam pagi khas China tetap
rutin dilaksanakan. Guru juga mengajarkan siswa menari tarian khas China,
memasak makanan China, memijat wajah dengan teknik khas China, dan melatih
konsentrasi dengan puzzle khas China.
Selain itu siswa juga diajak untuk melaksanakan upacara pengibaran bendera guna
melatih kedisiplinan dan meningkatkan nasionalisme. Namun, beberapa siswa tidak
serius dalam mengikuti upacara dan juga meragukan fungsi atau manfaat dari
upacara tersebut.
Guru China tetap
mengajar dengan sungguh-sungguh. Pada saat mengajarkan grammar, siswa di kelas tersebut menertawakan cara pengucapan guru
yang bukan native speaker. Namun
faktanya, hasil tes internasional menunjukkan bahwa dalam tes internasional,
siswa China lebih unggul dalam English
grammar dibandingkan dengan siswa dari UK sendiri. Menurut guru dari China,
hal ini karena kurangnya attitude
dari siswa di UK. Siswa di UK kurang menyadari bahwa belajar bukan hanya tentang
hak, namun juga tanggung jawab.
Mrs. Yang yang merasa
prihatin dengan cara berpikir siswa di UK menceritakan tentang pesan ayahnya,
“Ayahku berpesan bahwa pengetahuan, kualifikasi, dan kemampuan yang baik adalah
cara untuk bertahan di masyarakat yang keras”.
Pada pertengahan
eksperimen atau akhir minggu kedua, guru mengundang wali murid dalam acara “Parents Evening”. Dalam acara ini satu
per satu guru dari China memperkenalkan diri dan menceritakan tentang kondisi
di kelas serta apa yang mereka harapkan dari siswa. Wali siswa ternyata sangat
mendukung apa yang dilakukan guru. Hal ini memberikan keyakinan baru bagi para
guru dari China tersebut.
Pada minggu ketiga
mulai ada peningkatan, namun waktu yang tinggal seminggu membuat tekanan
semakin besar. Perwakilan atau pimpinan UK berdiskusi dengan para guru China di
ruang kerja mereka. “Jika Anda menang dalam eksperimen ini maka saya harus
mempekerjakan Anda untuk sepuluh tahun ke depan. Hal ini akan sangat menarik.
Selain itu dengan guru yang hanya berbicara sepanjang hari kami juga dapat
menghemat anggaran kami” kata salah satu perwakilan dari UK sambil berkelakar.
Selanjutnya di balik layar, ia juga berkata bahwa jika China menang, maka
mungkin UK harus meninjau kembali apa yang mereka lakukan selama ini dan juga
apa yang mereka percayai.
Pada saat tes kebugaran
dilaksanakan, hanya 24 dari 50 siswa UK yang lulus. Siswa di UK tidak terbiasa
mengikuti tes seperti ini. Mereka biasanya boleh memililih olahraga apa yang
akan mereka lakukan. Sementara di China siswa harus mengikuti semua jenis
olahraga dan tidak dapat memilih.
Pada akhir eksperimen
dilakukan sebuah ujian. Hasil ujian tersebut diumumkan. Nilai rata-rata
matematika untuk Chinese School
adalah 67,74, sedangkan untuk UK 54,84. Nilai bahasa Mandarin untuk Chinese School 46,88 sedangkan untuk UK
36,46. Selanjutnya untuk Sains nilai rata-rata siswa adalah 58,33 untuk Chinese School dan 50 untuk UK. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hasil pembelajaran untuk Chinese School dalam eksperimen ini lebih unggul dibandingkan
dengan UK.
Dokumentari dari BBC
ini cukup menarik dan benar-benar dapat menggambarkan perbedaan kultur dan
sistem pengajaran dari kedua negara. Dalam hal ini, Miao Yi-yi[5]
membuat simpulan tentang tiga perbedaan antara sistem pembelajaran di China
dengan di UK yaitu: (1) hubungan guru dan murid di China seperti orang tua
dengan anak, sedangkan di UK seperti teman dengan teman, (2) di Cina, guru
berharap siswa dapat benar-benar tenang dan memusatkan perhatian pada apa yang
dikatakan guru di kelas, sedangkan di UK siswa diberikan kebebasan yang relatif
lebih besar, dan (3) siswa di Cina sering menghabiskan hampir sembilan jam
untuk belajar di sekolah dan menghabiskan hampir lima jam atau lebih pada
pekerjaan rumah dalam sehari, sedangkan di UK, siswa menghabiskan lebih sedikit
waktu untuk belajar baik di sekolah maupun di rumah.
Terlepas dari skor
berbagai tes internasional yang tinggi, para pekerja dari China juga
mendapatkan kritik bahwa mereka cenderung kurang kreatif dan kurang bisa diajak
bekerja sama. Oleh karena itu, China mulai menerapkan berbagai reformasi di
bidang pendidikan. OECD [6]
melaporkan bahwa China mereformasi kurikulum di semua tingkatan dan lebih fokus
pada kreativitas. Reformasi Kurikulum Baru yang dimulai pada tahun 2001
mencakup seluruh sistem pendidikan, termasuk filsafat pendidikan, tujuan, isi,
metode dan sistem evaluasi di semua fase pendidikan. Enam tujuan ditetapkan
dalam Garis Besar Kurikulum Reformasi Pendidikan Dasar, yaitu: 1) mengubah dari
perspektif yang sempit tentang transmisi pengetahuan dalam pengajaran di kelas
menjadi perspektif yang berkaitan dengan belajar cara belajar dan mengembangkan
sikap positif, (2) perubahan dari struktur kurikulum yang berpusat pada subjek
ke struktur kurikulum yang seimbang, terintegrasi dan selektif untuk memenuhi
beragam kebutuhan sekolah dan siswa, (3) mengubah dari sebagian isi kurikulum
yang kedaluwarsa dan sangat musykil menjadi pengetahuan dan keterampilan
esensial dalam kaitannya dengan pembelajaran seumur hidup siswa, (4) mengubah
dari gaya belajar pasif dan hafalan menjadi gaya belajar aktif dan memecahkan
masalah untuk meningkatkan kemampuan siswa secara keseluruhan untuk memproses
informasi, memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan belajar secara
kooperatif, (5) mengubah fungsi evaluasi kurikulum dari penilaian sumatif sempit
(misalnya ujian untuk sertifikat tingkat prestasi dan untuk seleksi) menjadi
tujuan yang lebih formatif seperti promosi pertumbuhan siswa, pengembangan guru
dan peningkatan pengajaran sebagai fungsi tambahan, dan (6) perubahan dari
kontrol kurikulum terpusat ke upaya bersama antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan sekolah untuk membuat kurikulum lebih relevan dengan situasi lokal.
Sistem pendidikan di
Indonesia, menurut saya, lebih mendekati sistem pendidikan di China daripada di
UK. Usia masuk sekolah dan juga wajib belajar di Indonesia sama dengan di
China. Cara mengajar sebagian besar guru juga masih tradisional seperti halnya
di China. Guru masih lebih banyak menerapkan pembelajaran langsung, sehingga
siswa banyak mencatat dan banyak menghafal. Namun, dari segi hasil, Indonesia tidak
ada apa-apanya dibandingkan China. Pada PISA 2018, China berhasil bertengger
pada peringkat 1, sedangkan Indonesia jauh di bawahnya, yaitu peringkat 72 dari
77 negara.[7]
Teori pembelajaran yang
diterapkan di kelas oleh guru, baik di China maupun di Indonesia tampaknya
adalah behaviorisme. Behaviorisme yaitu teori belajar yang berfokus pada
perilaku yang dapat diamati dan mengabaikan segala aktivitas mental. Belajar
didefinisikan hanya sebagai perolehan perilaku baru. Ahli perilaku menyebut
metode pembelajaran ini sebagai 'pengkondisian'.[8]
Hal ini ditandai dengan aktivitas siswa yang lebih banyak menerima daripada
mengonstruksi sendiri pengetahuan mereka.
Terlepas dari praktik
di lapangan, kurikulum di kedua negara sebenarnya menganut aliran
konstruktivisme. Konstruktivisme melihat pembelajaran sebagai hasil dari
konstruksi mental, yaitu pembelajaran terjadi ketika informasi baru dibangun
dan ditambahkan ke dalam struktur pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan
individu saat ini. Siswa belajar paling baik ketika siswa secara aktif
membangun pemahaman mereka sendiri.[9]
Menurut saya, kedua negara ini sebenarnya sama-sama sedang berjuang untuk
mengatasi kesenjangan antara idealisme kurikulum dengan praktik yang terjadi di
lapangan.
Mengenai hasil PISA
yang memukau dari China tentunya perlu analisis yang lebih mendalam. Apakah
memang China benar-benar telah berhasil mereformasi pendidikan mereka sehingga
hasilnya begitu luar biasa? Ataukah mereka masih menggunakan old method yang sebenarnya cukup efektif
untuk diterapkan di China? Apa pun jawabannya, China telah membuktikan diri sebagai
negara dengan kekuatan yang luar biasa
dan juga paling kompetitif di dunia.
[2] Education
System in The UK, hlm. 1, diakses dari https://kenyahighcom.org.uk/docu
ments/education-system.pdf, pada tanggal 12 Desember 2019 pukul 03.50.
[3] The British Education System, diakses
dari https://www.learnenglish.de/culture/ educationculture.html, tanggal 12
Desember 2019 pukul 04.21.
[4]
OECD 2019, Education at a Glance “People’s Republic of China”, dapat diakses
di http://www.oecd.org/education/education-at-a-glance/EAG2019_CN_CHN.pdf
[5]
Miao Yi-yi, A Study of the Differences Between China and UK Classroom Teaching
in Middle Schools Based on a BBC Documentary, Sino-US English Teaching, November 2016, Vol. 13, No. 11, 856-859,
doi:10.17265/1539-8072/2016.11.004
[6]
OECD 2019, op. cit, hlm. 30.
[7] OECD, Snapshot od Student Performance, diakses dari https://www.oecd.org/pisa/PISA-results_ENGLISH.png pada tanggal 12 Desember 2019 pukul
09.16.
[8]
Alan Pritchard, Ways of Learning: Second
Edition (New York: Routledge, 2009), hlm. 6.
[9] Ibid., hlm. 17.
Komentar
Posting Komentar