Filosofi Pendidikan ala Sokola Rimba
Postingan saya kali ini merupakan rangkuman dari materi yang disampaikan oleh Butet Manurung dalam salah satu seri kuliah umum PembaTIK level 4 (https://simpatik.belajar.kemdikbud.go.id/). Kuliah umum bertema “Motivasi Guru dalam Mendidik: Belajar dalam Mengajar” ini disampaikan pada Selasa, 15 September 2020 pukul 10.30-12.00 melalui zoom meeting dan ditayangkan secara live di Youtube. Butet Manurung adalah direktur atau pendiri Sokola Institute yang menjadi pusat kajian dan pendidikan masyarakat adat. Wanita keahiran Jakarta tahun 1972 ini menyelesaikan S1 di dua jurusan sekaligus, yaitu Antropologi dan Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran Bandung. Sokola Rimba (2007) adalah buku yang pernah ia tulis. Buku ini juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris serta sudah difilmkan oleh Mira Lesmana dan Riri Riza.
Kiprah Butet Manurung
sebagai seorang pendidik dimulai saat ia bekerja sebagai fasilitator pendidikan
pada lembaga yang bernama WARSI (Warung Informasi Konservasi) di Rimba Bukit
Duabelas Jambi pada tahun 1999. Awalnya ia bertugas sebagai Antropolog yang
meneliti masyarakat adat Orang Rimba. Sebagai seorang antropolog ia tidak luput
dari gegar budaya. Butet Manurung mempertanyakan alasan Orang Rimba memakai
cawat dan tidak keluar dari Rimba. Ia memperoleh jawaban setelah menyaksikan
dan mengalami sendiri bagaimana repotnya harus terus melepas dan memakai sepatu
ketika menyeberang sungai. Ia juga mengalami sulitnya memanjat pohon dengan
memakai sepatu dan celana yang kantongnya penuh dengan lumpur ketika dikejar
oleh beruang. Karena kejadian itu, anak-anak Rimba pun menganggapnya bodoh.
Dari sini Butet Manurung menyimpulkan bahwa pintar atau bodoh tergantung siapa
yang berbicara dan di mana berada. Orang Rimba memakai cawat karena pakaian itu
yang paling operasional untuk bertahan hidup di alam bebas.
Masyarakat adat Orang
Rimba sudah hidup damai tanpa masalah selama ratusan tahun. Orang Rimba
ternyata mempunyai sistem pendidikan sendiri. Dari kecil, anak-anak sudah mempelajari
banyak hal yang kontekstual dengan kehidupannya. Mereka paham tentang segala jenis
binatang. Anak yang masih kecil pun sudah mahir menangkap hewan yang kecil
dengan menggunakan ketapel atau jerat-jerat. Anak-anak belajar melalui
observasi, bermain, dan eksplorasi. Mereka mengamati orang tua kemudian mencobanya
sambil bermain. Mereka mempelajari keterampilan dari yang paling sederhana,
misalnya menangkap tikus, dilanjutkan dengan menangkap ular, dan seterusnya,
hingga mempelajari keterampilan yang paling sulit yaitu mengambil madu di pohon
yang tingginya bisa mencapai 100 meter.
Orang Rimba tinggal di
hutan seluas 60 ribu hektar. Di sana terdapat 12 ketemenggungan atau kepala suku
dan sekitar 3.500 orang yang tinggal di hutan. Pemerintah kerap memberikan bantuan-bantuan
rumah dengan segala kelengkapannya untuk masyarakat adat yang tinggal di
gunung, di laut, dan di hutan. Namun, bagi Orang Rimba, rumah seperti itu
adalah kandang. Bagi mereka, kamar mandi adalah seluruh sungai yang ada di
sekitar, dapur bisa di mana saja, dan kulkas mereka adalah seluruh rimba. Rumah
versi mereka sangat kompleks dan luas. Mereka justru akan kasihan jika melihat
rumah di desa atau kota yang menurut mereka sangat kecil.
Pada awalnya memang Orang
Rimba baik-baik saja. Namun, lama-kelamaan muncul permasalahan yang datang dari
luar. Hutan yang menjadi tempat tinggal mereka mengalami konversi besar-besaran
menjadi perkebunan atau wilayah transmigrasi. Masalah ini tidak bisa lagi
dipecahkan oleh kecakapan berburu, adat istiadat, dan mantra-mantra. Untuk
menghadapi masalah-masalah tersebut, Butet Manurung ingin mengajarkan baca
tulis. Namun, Orang Rimba menolak karena menganggap hal itu tabu. Bahkan, mereka
menyebut pena sebagai setan bermata runcing karena setiap berhubungan dengan
orang yang memakai pena mereka mengalami kesulitan. Butet mengalami penolakan
sekitar tujuh bulan dan berpindah-pindah sari satu kelompok ke kelompok yang
lain.
Orang Rimba tidak bisa
menghitung hasil jualan. Mereka juga sering ditipu sehingga kehilangan tanah
karena tidak bisa baca tulis. Hal ini membuat anak-anak di Rimba mulai berpikir
untuk belajar agar dapat menguasai setan bermata runcing. Ketika sudah bisa
baca tulis, anak-anak Rimba bertanya kepada Butet, “Ibu guru kita sudah pinter
baca tulis tapi kenapa hutan kok masih habis juga? Mengapa baca tulis kita
tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan utama kami untuk mengusir
para pencuri kayu itu?” Butet dan teman-temannya berpikir bahwa pendidikan yang
diberikan belum dapat menyelesaikan permasalahan utama tentang hidup dan mati Orang
Rimba. Dari pemikiran ini lahirlah Sokola Rimba.
Ketika mengajar membaca
dan menulis, Butet juga mengajak anak-anak berdiskusi tentang
permasalahan-permasalahan yang ada di Rimba. Butet berpikir bahwa pembelajaran
harus berdampak. Ia membuat kurikulum berdasarkan permasalahan-permasalahan yang
ada. Butet menyebutnya sebagai metode hadap masalah. Pelajaran-pelajaran yang
operasional terhadap cara bertahan hidup di rimba tetap berjalan. Butet
beranggapan bahwa anak bukanlah kertas kosong. Mereka sudah memiliki kecakapan
untuk bertahan hidup. Alam di sekitar mereka adalah guru. Jadi tugas guru hanya
melengkapi atau menyempurnakan kemampuan mereka. Jika menggunakan konteks
seperti di kurikulum nasional, anak-anak Rimba atau anak-anak di daerah
pedalaman yang lain tidak akan dapat memahami.
Sokola Institute
mempertanyakan tentang sekolah formal yang tidak operasional di beberapa
tempat. Berdasarkan kajian mereka, terdapat beberapa ketidaksesuaian sekolah
formal dengan kebutuhan Orang Rimba, di antaranya sebagai berikut.
- Sekolah formal tidak mengajarkan kemampuan yang sesuai dengan kondisi atau potensi di sekitarnya. Orang Rimba tidak bisa diajarkan dengan kurikulum yang dampaknya baru akan dirasakan beberapa tahun yang akan datang. Kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan yang taktis.
- Sekolah formal tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah yang dinamis di alam bebas. Di Papua misalnya ada istilah “tanam pantat” karena mereka tidak terbiasa duduk manis. Mereka terbiasa bergerak 5 sampai 10 km per hari. Jika terkungkung dalam kelas tentunya mereka tidak akan merasa nyaman. Cara belajar harus disesuaikan dengan kebiasaan mereka.
- Sekolah formal tidak mengatasi persoalan kehidupan dan perubahan sekitar. Contoh ketika orang Rimba ke Jakarta mereka bertanya mengapa di depan sekolahan justru banyak jajanan-jajanan yang dibungkus dengan plastik padahal plastik tidak baik bagi lingkungan.
Sokola mempunyai metode yang memungkinkan siswa bisa baca tulis dalam 2 minggu. Metode ini sudah
dipraktikkan di 16 lokasi di Indonesia. Sokola tidak hanya mengajarkan literasi
dasar, tetapi juga literasi terapan. Kurikulum sokola rimba meliputi:
- Penguatan identitas kultural oleh pemuka lokal (wawasan kerimbaan). Pengetahuan dunia luar dan akses fasilitas atas hak warga negara (wawasan dunia luar). Di Sokola, siswa tidak belajar sinus, cosinus, tangen karena tidak bisa digunakan untuk melawan dunia luar. Namun, mereka belajar membuat film karena bisa menunjukkan kepada dunia luar bahwa Orang Rimba mempunyai cara hidup yang ramah terhadap lingkungan dan bahwa mereka menghadapi masalah pembalakan.
- Pendidikan yang mendukung advokasi. Siswa diajarkan tentang cara mengakses layanan kesehatan. Siswa juga diajarkan cara mengakses jalur hukum supaya bisa membantu mereka mempertahankan haknya.
Selain kurikulum yang
kontekstual, Sokola mempunyai beberapa program untuk menunjang berlangsungnya
pembelajaran yaitu:
- Kaderisasi pengorganisasian. Anak-anak yang menonjol dan memang mempunyai keinginan untuk menjadi kader diikutkan supaya bisa membantu menyelesaikan masalah yang ada di komunitasnya.
- Networking, berjaringan dengan pihak yang relevan. Masyarakat Rimba kurang paham tentang manfaat kantor pos, kantor polisi, atau puskesmas. Akses masyarakat terhadap layanan ini dimaksimalkan.
Education sendiri berasal dari kata e dan ducares yang berarti membebaskan atau mengeluarkan dari permasalahan. Konten pengajaran seharusnya dibentuk oleh konteks, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam mengajar, guru harus mempunyai prinsip humility (kerendahhatian). Seperti yang dikatakan Orang Rimba, sekolah harus memberi manfaat untuk kehidupan, untuk saat ini, bukan di masa depan. Karena jika kita memelihara hari ini, kita memelihara masa depan.
Setelah membaca filosofi
pendidikan ala Sokola Rimba, menurut sahabat apa hakikat pendidikan yang
sesungguhnya? Dapatkah sahabat menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dari
siswa Sokola Rimba?
bu linda memang pakar membuat blog. saya salut dengan jenengan bu 😚
BalasHapusMasih belajar Bu, blog panj jg keren. ayo kita semangat😊🥰
HapusKeren
BalasHapusMaturnuwun Bu Ana🙂
Hapus